Ternak Ruminansia mempunyai perut yang
berbeda dengan monogastrik. Perut pada ruminansia terdiri dari reticulum,
rumen, omasum, dan abomasum. Rumen merupakan bagian terbesar pada perut
ruminansia. Didalam rumen dan reticulum terdapat mikroba dan merupakan alat
pencernaan fermentative dengan kondisi anaerob, suhu 390C dan pH
rumen 6-7(Sutardi, 1977).
Proses pencernaan pada ternak ruminansia
terbagi menjadi 3 jenis yaitu pencernaan secara mekanis didalam mulut,
pencernaan hidrolitik oleh enzim pencernaan, dengan bantuan mikroba rumen dan
pencernaan fermentative pada rumen. Pencernaan fermentative merupakan perubahan
senyawa-senyawa tertentu menjadi senyawa lain yang sama sekali berbeda dengan
molekul zat makanan asalnya, pencernaan fermentative ini adalah pencernaan
lebih lanjut dimana zat monomer-monomer dari hasil pencernaan hidrolitik segera
dikatabolisasikan lebih lanjut, misalnay protein difermentasikan menjadi
ammonia, karbohidrat menjadi menjadi asam lemak terbang atau VFA(Church, 1979).
2.1 Metabolisme
Rumen
Sistem
pencernaan pada ruminansia melibatkan interaksi dinamis antara bahan pakan,
populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke mulut akan
mengalami proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk
bolus. Pada proses ini, pakan bercampur dengan saliva kemudian masuk kerumen
melalui esofagus untuk selanjutnya mengalami proses ferementatif. Bolus di
dalam rumen akan dicerna oleh enzim mikroba. Partikel pakan yang tidak dicerna
di rumen dialirkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim
pencernaan. Hasil pencernan tersebut akan diserap oleh usus halus dan selanjutnya
masuk dalam darah (Sutardi, 1977). Proses fermentasi pakan di dalam rumen
menghasilkan VFA dan NH3, serta gas-gas (CO2, H2, dan CH4) yang dikeluarkan
dari rumen melalui proses eruktasi (Arora, 1989).
2.2 Produksi
Volatil Fatty Acid (VFA) dalam Rumen
Volatil
Fatty Acid (VFA) merupakan produk akhir fermantasi karbohidrat dan sumber
energi utama bagi ternak ruminansia (Parakkasi, 1999). McDonalld et al.,
(2002) menyatakan bahwa pakan yang masuk ke dalam rumen difermentasi untuk
menghasilkan produk berupa VFA, sel-sel mikroba, serta gas metan dan CO2. Karbohidrat
pakan didalam rumen mengalami dua tahap pencernaan oleh enzim- enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Pada tahap
pertama mikroba rumen mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti
glukosa, fruktosa dan pentosa. Hasil pencernaan tahap pertama masuk kejalur
glikolisis Embden-Meyerhoff untuk mengalami pencernaan tahap kedua yang
menghasilkan piruvat. Piruvat selanjutnya akan dirubah menjadi VFA yang umumnya
terdiri dari asetat, butirat dan propionat (Arora, 1995).
Piruvat merupakan produk intermedier yang segera
dimetabolis menjadi produk akhir berupa asam lemak berantai pendek yang sering
disebut VFA yaitu asam asetat, propionat, butirat, sejumlah kecil asam valerat
dan asam lemak berantai cabang.
Gambar 1 : Skema Lintasan Utama Fermentasi Karbohidrat
Menjadi VFA (France dan Siddons, 1993)
Banyaknya VFA yang dihasilkan di dalam rumen sangatlah
bervariasi yaitu antara 200 – 1500 mg/100 ml cairan rumen. Hal ini tergantung
pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonald et al; 2002). Peningkatan
konsentrasi VFA mencerminkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat
pakan yang mudah larut (Davies, 1982). VFA mempunyai peran ganda yaitu sebagai
sumber energi bagi ternak dan sumber kerangka karbon untuk pembentukan protein
mikroba (Sutardi et al, 1983). Kadar VFA yang dibutuhkan untuk menunjang
pertumbuhan mikroba rumen yang optimal adalah 80 – 160 mM (Sutardi, 1979).
Pada ternak ruminansia, VFA merupakan sumber energi
utama yang berasal dari hasil fermentasi karbohidrat di dalam rumen (Dixon,
1985). VFA dapat menggambarkan fermentabilitas suatu pakan sebab VFA dapat
mencerminkan peningkatan karbohidrat dan protein yang mudah larut.
2.3 Produksi N - Amonia (NH3) dalam Rumen
Pada ternak ruminansia sebagain protein yang masuk ke
dalam rumen akan mengalami prombakan/degradasi menjadi amonia oleh enzim
proteolitik yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Produksi amonia tergantung pada
kelarutan protein ransum, jumlah protein ransum, lamanya makanan berada dalam
rumen dan pH rumen (Orskov, 1982).
Sebagian besar mikroba rumen (82%) mengandung NH3
(amonia) untuk perbanyakan diriya, terutama dalam proses sintesis selnya
(Sutardi, 1979). Bryant (1974) menyatakan bahwa dalam mayoritas bakteri rumen
dapat mengunakan amonia sebagai sumber nitrogen. Kadar amonia yang dibutuhkan
untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal menurut Sutardi (1979)
berkisar antara 4-12 mM.
Produksi protein mikroba rumen dapat ditingkatkan
dengan menambahkan karbohidrat mudah dicerna dalam rumen (Hungate, 1966)
seperti tetes tebu, pati, glukosa, fruktosa dan sukrosa. Adanya karbohidrat
yang mudah difermentasi tersebut memungkinkan mikroba mendapatkan energi yang
lebih baik untuk membentuk protein tubuhnya (Sowardi, 1974). Dinyatakan pula
bahwa sebagian besar protein yang terdapat dalam rumen adalah protein mikroba
dan 50-90% dari seluruh protein yang mencapai usus halus adalah protein
mikroba.
Kadar N-amonia, VFA serta pembentukan protein mikroba
merupakan beberapa tolak ukur nilai gizi dan manfaat bahan serta aktivitas di
dalam rumen. Proses degradasi bahan makanan menghasilkan N-amonia yang sebagian
digunakan untuk sintesis protein mikroba (Chalupa, 1977).
Pengukuran N-NH3 in vitro dapat digunakan untuk
mengestimasi degradasi protein dan kegunaannya oleh mikroba. Produksi amonia
dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada
2-4 jam setelah pemberian pakan yang bergantung kepada sumber protein yang
digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt et al,
1976). Jika pakan defisien protein atau tinggi kandungan protein yang lolos
degradasi, maka konsentrasi N-NH3 rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/1
atau 3,57 mM) dan pertumbuhan organisme rumen akan lambat (Satter dan Slyter,
1974). Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein
mikroba maka NH3 akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Kisaran
optmum NH3 dalam rumen berkisar antara 85 – 300 mg/l 1 atau 6-21 mM (McDonald et
al, 2002).
|
|||
Gambar 2 : Proses Degradasi Protein
Dalam Rumen (Sutardi, 1977)
Ranjhan (1977) menyatakan bahwa peningkatan jumlah
karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi amonia karena
terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondsi
yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya
dengan pembentukan NH3 sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produksi
fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan sebagai sumber dan kerangka
karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia. Mikroba yang telah mati
akan masuk ke usus sebagai sumber protein bagi ternak. Protein mikroba tersebut
bersama dengan protein pakan yang lolos degradasi mengalami kecernaan di dalam
usus oleh enzim-enzim protease dengan hasil akhir asam amino (Sutardi, 1977).
2.4 Peran Mikroba Rumen Pada Ternak Ruminansia
Mikroba rumen sangat berperan dalam mendegradasi pakan
yang masuk ke dalam rumen menjadi produk-produk sederhana yang dapat
dimanfaatkan oleh mikroba maupun induk semang dimana aktifitas mikroba tersebut
sangat tergantung pada ketersediaan nitrogen dan energi. Kelompok utama mikroba
yang berperan dalam pencernaan tersebut terdiri dari bakteri, protozoa dan
jamur yang jumlah dan komposisinya bervariasi tergantung pada pakan yang
dikonsumsi ternak (Preston dan Leng 1987).
Mikroba rumen membantu ternak ruminansia dalam
mencerna pakan yang mengandung serat tinggi menjadi asam lemak terbang (Volatile
Fatty Acids = VFA) yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam
valerat serta asam isobutirat dan asam isovalerat. VFA diserap melalui dinding
rumen dan dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh ternak. Sedangkan produk
metabolis yang tidak dimanfaatkan oleh ternak yang pada umumnya berupa gas akan
dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Barry, Thomson dan Amstrong
1977). Namun yang lebih penting ialah mikroba rumen itu sendiri, karena biomas
mikroba yang meninggalkan rumen merupakan pasokan protein bagi ternak
ruminansia. Sauvant, Dijkstra dan Mertens (1995) menyebutkan bahwa 2/3 – 3/4
bagian dari protein yang diabsorbsi oleh ternak ruminansia berasal dari protein
mikroba.
Kualitas pakan yang rendah seperti yang umum terjadi
di daerah tropis menyebabkan kebutuhan protein untuk ternak ruminansia sebagian
besar dipasok oleh protein mikroba rumen. Soetanto (1994) menyebutkan hampir
sekitar 70 % kebutuhan protein dapat dicukupi oleh mikroba rumen. Namun
McDonald (1981) menyatakan bahwa untuk memperoleh hasil produksi yang tinggi,
khususnya pada fase fisiologi tertentu, misalnya pada masa pertumbuhan awal,
bunting dan awal laktasi, pasok protein mikroba belum mencukupi kebutuhan
ternak, sehingga ternak memerlukan tambahan pasok protein dari pakan yang lolos
fermentasi di dalam rumen.
Produk akhir fermentasi protein akan digunakan untuk
pertumbuhan mikroba itu sendiri dan digunakan untuk mensintesis protein sel
mikroba rumen sebagai pasok utama protein bagi ternak ruminansia. Menurut Arora
(1983) sekitar 47–71% dari nitrogen yang ada di dalam rumen berada dalam bentuk
protein mikroba.
2.5 Kecernaan Bahan Kering dan
Bahan Organik
Kecernaan atau daya cerna adalah bagian dari nutrien
pakan yang tidak diekskresikan dalam feses terhadap konsumsi pakan (Tillman et
al., 1998). Tingkat kecernaan nutrien makanan dapat menentukan kualitas
dari ransum tersebut, karena bagian yang dicerna dihitung dari selisih antara
kandungan nutrien dalam ransum yang dikonsumsi dengan nutrien yang keluar lewat
feses atau berada dalam feses.
Preston dan Leng (1987) menyatakan bahwa kecernaan
BK suplemen yang berkisar antara 55-56 % merupakan kecernaan BK yang tinggi dan
diiharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ternak dan produksi susu.
Menurut
A.A.A.S.Trisnadewi, I G.L.O.Cakra dan I W. Wirawan, 2009 menunjukkan bahwa
kecernaan bahan kering semakin meningkat dengan adanya tambahan dedak padi pada
pakan.
Hal ini disebabkan karena adanya zat pati dalam
karbohidrat mudah larut yang akan digunakan oleh mikroorganisme rumen pada
tahap awal pertumbuhannya sebagai energi, setelah itu diikuti oleh penggunaan
nutrien lainnya. Akibatnya mikroorganisme dapat berkembang dengan baik, lebih
banyak mengeluarkan enzim pencerna serat sehingga aktivitasnya lebih aktif,
akibatnya kecernaan meningkat. Menurut Tillman et al. (1998)
bahwa sebagian besar bahan organik merupakan komponen bahan kering. Jika
koefisien cerna bahan kering sama, maka koefisien cerna bahan organiknya juga
sama.
Kecernaan bahan kering dan bahan organik ditentukan
dengan petunjuk Van Der Meer (1980).
BK awal – (BK residu – BK
blanko)
KcBK =
x 100%
BK awal
BO awal – (BO residu – BO
blanko)
KcBK =
x 100%
BO awal
Sebagai
keterangan : KcBK = kecernaan bahan kering, KcBO = kecernaan bahan organik, BK
= bahan kering, BO = bahan organik.
Salah satu factor yang mempengaruhi kecernaan bahan
pakan adalah kandungan protein kasar; protein kasar ransum yang tinggi menghasilkan kecernaan
yang tinggi pula (Mc Donald, Edwards dan Greenhalgh, 1987).
Di dalam komponen serat kasar selain selulosa dan
hemiselulosa yang dapat dimanfaatkan ruminansia, juga terdapat lignin, yang
pada konsentrasi yang tinggi dapat melindungi degradasi oleh bakteri di dalam
rumen (Van Soest, 1994).
0 komentar:
Posting Komentar