Blogger templates

Jumat, 28 Juni 2013


PENGARUH JENIS SLUDGE YANG BERBEDA TERHADAP TINGKAT PRODUKSI BIOGAS DI KELURAHAN BUGIS KECAMATAN SUMBAWA KABUPATEN SUMBAWA
Indah Susanggih

Usaha peternakan mempunyai prospek untuk dikembangkan karena tingginya permintaan produk peternakan. Usaha peternakan juga memberi keuntungan yang cukup tinggi dan menjadi sumber pendapatan bagi banyak masyarakat pedesaan di Kabupaten Sumbawa. Peternakan di Kabupaten Sumbawa mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama satu tahun terakhir ini seperti pada tahun 2009; kuda berjumlah 37.326, Sapi berjumlah 129.194, Kerbau berjumlah 56.636, Kambing berjumlah 36.622, Domba berjumlah 1.307, Ayam Buras berjumlah 568.038, Ayam Ras berjumlah 273.490. Dengan perbandingan pada tahun 2010 kuda berjumlah 37.436, Sapi berjumlah 154.258, Kerbau berjumlah 54.535, Kambing berjumlah 38.462, Domba berjumlah 1.270, Ayam Buras berjumlah 607.700, Ayam Ras berjumlah 192.158 (Kabupaten Sumbawa Dalam Angka, 2010). Namun demikian usaha peternakan ini pun memiliki hasil produksi lain yang akhirnya menjadi limbah peternakan, seperti feses yang dihasilkan. Akhirnya berdampak pada lingkungan sekitar dengan berbagai pencemaran yang ditimbulkan, salah satunya adalah pencemaran udara dan pemanasan global yang menjadi perhatian dunia saat ini.
Oleh karena itu seiring dengan kebijakan otonomi daerah, maka pengembangan usaha peternakan yang dapat meminimalkan limbah peternakan adalah perlunya dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sumbawa untuk menjaga kenyamanan masyarakatnya. Salah satu upaya itu adalah dengan memanfaatkan limbah peternakan sebagai biogas yang terbuat dari limbah peternakan. Selain dapat menghasilkan bahan bakar alternatif, instalasi biogas juga dapat, menghasilkan keluaran berupa lumpur (sludge) padat dan cair yang dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman.
Salah satu jenis energi seperti biogas atau gas bio dapat dibuat dari banyak jenis bahan buangan dan bahan sisa, semacam sampah, kotoran ternak, jerami, eceng gondok serta banyak bahan-bahan lainnya lagi. Singkatnya biogas terbuat dari segala jenis bahan yang dalam istilah kimia termasuk senyawa organik, yang berasal dari sisa dan kotoran hewan ataupun sisa tanaman, dapat dijadikan bahan (Suriawiria dan Unus, 2002).
Pemilihan biogas sebagai sumber energi alternatif didasari pada keunggulan yang dimilikinya, yaitu :
1.  Menghasilkan gas yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari
2.  Kotoran yang digunakan untuk menghasilkan gas dapat digunakan sebagai pupuk organik yang sangat baik
3.  Dapat mengurangi kadar bakteri patogen yang terdapat dalam kotoran yang dapat menyebabkan penyakit bila kotoran tersebut ditimbun begitu saja
4.  Yang paling utama adalah dapat mengurangi permasalahan penanggulangan sampah/kotoran menjadi sesuatu yang bermanfaat (Ichwan, 2003).      
Pemanfaatan limbah peternakan ini dapat memberi andil yang cukup besar atas beberapa permasalahan yang tengah dihadapi oleh Kabupaten Sumbawa saat ini seperti pemanasan global, langkanya Bahan Bakar Minyak (BBM), dan krisis pupuk yang dialami oleh petani saat-saat ini. Biogas ini dapat meminimalkan kandungan gas methane yang dihasilkan oleh feses pada ternak. Kandungan gas methane yang dihasilkan oleh tiap-tiap feses ternak jelas berbeda hal ini disebabkan oleh kandungan feses yang berbeda.
Menurut Karyadi (2001) menyatakan bahwa setiap hewan menghasilkan kotoran dengan komposisi unsur hara yang berbeda-beda, tergantung pada jenis makanannya. Bila makanan hewan banyak mengandung unsur N maka kotoran yang dihasilkan juga banyak mengandung unsur N. Maka jelas bahwa pakan sangat mempengaruhi unsur kandungan dari kotoran ternak.  
Biogas merupakan salah satu produk dari teknologi hijau yang sekarang sedang dikembangkan. Hal ini dikarenakan gas yang dihasilkan dari proses biologis (anaerobic digester) mampu menghasilkan gas – gas seperti CH4, CO2, H2S, H2O dan gas – gas lain. Dalam hal ini tentu saja yang dimanfaatkan adalah gas metana (CH4), karena CH4 memiliki nilai kalor/panas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Degradasi secara mikrobiologi dari bahan – bahan organik dalam lingkungan anaerob hanya dapat dilakukan oleh mikroorganisme yang mampu memanfaatkan molekul selain oksigen sebagai akseptor hidrogen. Dekomposisi anaerob menghasilkan biogas yang terdiri dari metana (50 – 70 %), karbondioksida (25 – 45 %) dan sejumlah kecil hidrogen, nitrogen, hydrogen sulfide (Price dan Cheremisinoff,1981). Kemurnian CH4 yang dihasilkan dari biogas tersebut menjadi pertimbangan yang sangat penting, hal ini dikarenakan berpengaruh terhadap nilai kalor / panas yang dihasilkan. Sehingga CH4 yang dihasilkan perlu dilakukan pemurnian terhadap impuritas yang lain. Dalam hal ini impuritas yang berpengaruh terhadap nilai kalor/panas adalah CO2, H2S, H2O dan gas – gas lain. Keberadaan gas lain dalam gas CH4 sangat tidak diinginkan, hal ini dikarenakan semakin tinggi kadar gas lain dalam CH4 maka akan semakin menurunkan nilai kalor CH4 dan sangat mengganggu dalam proses pembakaran. Hal ini menyebabkan kemurnian CH4 menjadi rendah.
Dilihat dari keadaan yang ada maka telah dilakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Jenis Sludge yang Berbeda Terhadap Tingkat Produksi Biogas Di Kelurahan Bugis Kecamatan Sumbawa Kabupaten Sumbawa”. Penelitian ini dilakukan guna mengetahui pengaruh jenis sludge yang berbeda pada tingkat produksi biogas. Sehingga dapat diketahuinya indikator gas methane yang dihasilkan dari tiap jenis sludge yang digunakan. Tekanan gas, volume produksi biogas, warna api, lama nyala api, dan kandungan air limbah biogas dari tiap sludge yang berbeda. 

MATERI DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Bugis Kecamatan Sumbawa Kabupaten Sumbawa. Selama 5 bulan  mulai bulan Juni sampai dengan bulan Oktober 2012. Adapun bahan-bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas empat feses yang berbeda dalam hal ini adalah feses sapi, feses kambing, feses kerbau, feses kuda, EM4, dan Air.  Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Alat biogas sederhana yang dirakit. Penelitian ini menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin dengan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan Uji Lanjut Duncan. Perlakuan yang dilakukan dengan menggunakan jenis sludge yang berbeda yaitu feses kuda, kambing, kerbau, dan sapi. Data dianalisis berdasarkan perbedaan tiap perlakuannya dengan T0 (Feses Sapi),T1(Feses Kambing),T2 (Feses Kerbau), dan T3 (Feses Kuda).
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah Tekanan gas, Massa produksi gas, Warna nyala api, Lama nyala api, dan Kandungan Air Limbah biogas. Tekanan gas diukur dengan menghitung nilai tekanan pada manometer air, Massa gas diukur dengan mengukur produksi gas dengan menggunakan pengukuran massa dari balon mylar yang telah terisi oleh gas. Warna nyala api dilihat dari produksi gas secara visual dari yang dihasilkan. Lama nyala api diukur dengan menggunakan alat stopwatch, keseluruhan parameter dilihat dari hari ke-8, hari ke-16, hari ke-24 dan hari ke-32 dari tiap-tiap perlakuannya, sedangkan Kandungan Air Limbah biogas dilakukan dengan pengujian laboratorium. Pengujian ini dilakukan guna melihat kandungan air limbah biogas akan Kalium (K), Kalsium(Ca), dan Natrium(Na).

HASIL DAN PEMBAHASAN
            Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa perlakuan feses sapi dan feses kuda memberikan pengaruh terhadap tingkat produksi Tekanan gas (Psi), Massa produksi gas (Gr), Lama nyala api (detik), Warna nyala api dan Komposisi air limbah Biogas. 

            Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa sludge yang memiliki tingkat stabilitas yang baik untuk digunakan dalam kebutuhan sehari-hari adalah T0 (feses sapi) dan T3 (feses kuda). Namun jika melihat dari warna nyala api, maka warna nyala api terbaik adalah pada T1 (feses kambing). Untuk masing-masing parameter dianalisis secara statistik dengan analisis sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Hal ini dapat dilihat pada uraian berikut.

Tekanan gas
            Hasil penelitian pengaruh jenis sludge yang berbeda terhadap tingkat produksi tekanan biogas (Tabel 3) bahwa rata-rata tekanan dari masing-masing perlakuan adalah T0 (0.081162 Psi), T1 (0.042581 Psi), T2 (0.030669 Psi), dan T3 (0.05956 Psi).
Tabel 2. Hasil Tekanan gas biogas (Psi)
Sumber : Data diolah (2012)
Tabel 3. Hasil Tekanan gas Biogas per periode
 Sumber: Data diolah (2012)

            Dimana tekanan tertinggi terdapat pada perlakuan T0 (0.081162 Psi) dan terendah adalah T2 (0.030669 Psi). 
*Berbeda nyata (P>0.05)
           
            Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 4) pengaruh jenis sludge yang berbeda nyata (P>0.05) terhadap tingkat produksi tekanan biogas. Hal ini disebabkan karena Sludge dengan bahan feses sapi memiliki tekstur yang masih dapat untuk diurai kembali menjadi biogas dibandingkan dengan sludge yang berbahan dasar feses kerbau. Begitupun dengan sludge berbahan dasar feses kuda dan kambing.  Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan Wulandari (2006) yang menyatakan bahwa sapi dan kerbau memiliki kadar hara yang sama, karena sesuai dengan Tohari (2009) menyatakan bahwa kadar hara kotoran ternak berbeda-beda karena masing-masing ternak memiliki sifat khas tersendiri. Hal ini disebabkan karena menurut Sunari (2007) kerbau memiliki daya cerna terhadap serat kasar mencapai 62.7 % lebih besar daripada ternak sapi yang hanya 51.1 %.
Tabel 5. Uji Jarak Duncan tekanan biogas
*berbeda nyata (P>0.05)
tnTidak berbeda nyata (P<0.05)
s.e.  = 0.009399           
LSR = SSR x 0.009399

            Hasil Uji jarak Duncan (Tabel 5) menunjukkan perbedaan nyata (P>0.05) dimana perlakuan terbaik pada T0 (feses sapi) dan T3 (feses kuda). Hal ini sesuai dengan penjelasan diatas, dimana sludge berbahan dasar feses sapi dan feses kuda selain memiliki kadar hara yang cukup juga memiliki tekstur yang mudah terurai dan lebih cepat menghasilkan gas. Namun jika dibandingkan dengan feses kuda dan kambing, feses sapi lebih lambat dalam proses menghasilkan gas, walaupun tekanan yang dihasilkan lebih tinggi. Feses kuda dan  kambing mulai mengalami proses sejak hari kedua setelah pengadukan sedangkan feses sapi dan kerbau mulai mengalami proses sejak hari ke-8 setelah pengadukan. Untuk feses sapi dan kerbau ini sesuai dengan pernyataan Price dan Cheremisinoff (1981) yang mengatakan bahwa proses fermentasi memerlukan waktu 7 sampai 10 hari untuk menghasilkan biogas. Lebih lanjut Price dan Cheremisinoff (1981) menyatakan bahwa terdapat 3 tahap dalam proses kimia pembuatan biogas yaitu :
1. Reaksi Hidrolisa / Tahap pelarutan
         Pada tahap ini bahan yang tidak larut seperti selulosa, polisakarida dan lemak diubah menjadi bahan yang larut dalam air seperti karbohidrat dan asam lemak. Tahap pelarutan berlangsung pada suhu 25 0C di digester.

2. Reaksi Asidogenik / Tahap pengasaman
         Pada tahap ini, bakteri asam menghasilkan asam asetat dalam suasana anaerob. Tahap ini berlangsung pada suhu 25 0C di digester.
3. Reaksi Metanogenik / Tahap gasifikasi
            Pada tahap ini, bakteri metana membentuk gas metana secara perlahan secara anaerob. Proses ini berlangsung selama 14 hari dengan suhu 25 0C di dalam digester. Pada proses ini akan dihasilkan 70% CH4, 30 % CO2, sedikit H2 dan H2S.
            Tekanan tertinggi dihasilkan pada pukul 11.35 siang, keseluruhan dari sludge feses mengalami peningkatan tekanan, dan mengalami penurunan kembali pada sore hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Udiharto (1981) yang menyatakan bahwa Pada temperatur kerja yang tinggi akan dihasilkan gas bio yang tinggi. Namun pada temperatur yang terlalu tinggi, bakteri akan mudah mati. Suhu kerja yang optimum adalah 350C. Bakteri methan sangat peka terhadap perubahan suhu yang mendadak. Untuk mencegah perubahan mendadak, umumnya dilakukan dengan menempatkan pencerna dibawah permukaan.

Lama Nyala Api

            Hasil pengukuran pengaruh jenis sludge yang berbeda terhadap tingkat produksi lama nyala api biogas (Tabel 7) bahwa rata-rata lama nyala api dari masing-masing perlakuan adalah T0 (14.625 detik), T1 (10.5625 detik), T2 (6.125 detik), dan T3 (14.625).
Tabel 6. Hasil lama nyala api
Sumber : Data diolah (2012)



Tabel 7. Hasil lama nyala api per periode
Sumber : Data diolah (2012)
            Dimana lama nyala api tertinggi terdapat pada perlakuan T0 (14.625 detik dan T3 (14.625), dan terendah T2 (6.125 detik). Untuk perbedaan lebih jelasnya, berikut adalah gambar 2 rata-rata lama nyala api biogas tiap sludge.


            Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 8) pengaruh jenis sludge yang berbeda terhadap lama nyala api biogas adalah tidak berbeda nyata (P<0.05). Namun, ketika dilihat dari hasil Uji jarak Duncan (Tabel 9) menunjukkan hasil berbeda nyata (P>0.05) dimana lama nyala api terlama pada T0 (feses sapi) dan T3 (feses kuda). T0 sebagai perlakuan 4 adalah tidak berbeda nyata, namun dibandingkan T3 sebagai perlakuan 3 adalah berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lain.
            Hal ini sesuai dengan pendapat Harahap (1978) yang menyatakan bahwa kandungan komposisi biogas dalam tiap-tiap sludge karena semakin tinggi CH4 maka akan semakin tinggi nilai kalor yang dihasilkan atau tingkat pembakaran. Bisa dilihat pada gambar 4, bahwa lama nyala api sludge dengan feses sapi dan feses kuda memiliki tingkat rata-rata yang sama, namun perlu diketahui bahwa besar nyala api berbeda sehingga lamanya nyala api tidak menjadi ukuran bahwa api yang dihasilkan bisa digunakan sebagai kebutuhan sehari-hari.

Massa Produksi Gas

            Hasil pengukuran pengaruh jenis sludge yang berbeda terhadap tingkat produksi massa biogas (Tabel 11) bahwa rata-rata massa produksi gas dari masing-masing perlakuan adalah T0 (0.05752175 gram), T1 (0.027866 gram), T2 (0.020918 gram), dan T3 (0.050804 gram).
Tabel 10. Massa Produksi Gas Biogas
Sumber : Data diolah (2012)

Tabel 11. Massa Produksi Gas Biogas per periode
Sumber : Data diolah (2012)

            Dimana massa tertinggi terdapat pada perlakuan T0 (0.05752175 gram)dan T3 (0.050804 gram), dan terendah adalah T2 (0.020918 gram). Untuk perbedaan lebih jelasnya, berikut adalah gambar 3 rata-rata massa produksi biogas tiap sludge.

            Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 12) pengaruh jenis sludge yang berbeda terhadap tingkat massa produksi biogas adalah tidak berbeda nyata (P<0.05). Hal ini disebabkan karena meskipun tekanan yang dimiliki berbeda namun, kandungan yang terdapat didalamnya bisa dipastikan berbeda hal itu dapat terlihat pada daya kalor yang terlihat ketika dilakukan pembakaran, pada saat itu terlihat dengan jelas interval waktu yang tidak berbeda jauh satu sama lainnya. Sehingga dapat dipastikan tingkat persentase massa gas pun tidak terlalu berbeda karena tiap kandungan memiliki massa gasnya sendiri hal ini dapat terlihat pada tabel 4 mengenai karakteristik kandungan biogas. Hal ini lebih jelas terlihat dengan pengujian lanjutan dengan menggunakan uji jarak Duncan (Tabel 13).


Warna Nyala Api
            Hasil pengamatan pengaruh jenis sludge yang berbeda terhadap warna nyala api biogas (Tabel 14) bahwa warna yang paling sering muncul adalah kuning dan biru sedangkan ungu dan merah hanya sedikit sekali muncul. Tingkat kemunculan yang dilihat secara visual dapat dilihat perbedaan dari warna nyala api yang dihasilkan (Lampiran 1). Berdasarkan tingkat kemunculan dan api terbaik yang dimunculkan maka perlakuan terbaik adalah pada perlakuan T1(feses kambing).
Tabel 14. Warna nyala api per periode
Sumber : Data diolah (2012)

            Setiap warna memiliki perwakilan dari kandungan yang terdapat didalam api seperti Natrium (Kuning), Kalium (Ungu), dan Kalsium (Merah). Hal ini sesuai dengan pendapat Widodo, dkk.(2009) bahwa terdapat beberapa zat beracun yang mampu diterima oleh bakteri didalam biodegester salah satunya adalah Natrium, Kalium, dan Kalsium. Hal ini pun sesuai dengan uji laboratorium yang terdapat pada Tabel 16 (kandungan air limbah biogas). Hal ini pun tergambar pada Tabel 15 warna nyala api tiap sludge. Warna nyala api biru dan biru adalah nyala api yang paling baik, hal ini dikarenakan warna nyala api biru dan ungu memiliki rata-rata suhu api kurang dari 20000C, sedangkan warna kuning dan merah memiliki rata-rata suhu api dibawah 10000C (Anonim, 2011).



Tabel 15 . Warna Nyala Api tiap sludge



Kandungan Air Limbah Biogas
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Laboratorium Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat (Tabel 16) bahwa kandungan yang terdapat didalam tiap-tiap perlakuan adalah T0 tinggi akan Kalsium (0.127 gr/100mL), T1 tinggi akan Kalium (0.720 gr/100mL), T2 tinggi akan Kalsium (0.092 gr/100mL), dan T3 tinggi akan Kalium (0.122 gr/100mL).
Tabel 16. Kandungan Air Limbah biogas
Sumber : Data diolah (Uji Laboratorium Univeristas Mataram FMIPA, NTB. 2012)
            Dari hasil uji laboratorium melihat kadar Natrium, Kalium, dan Kalsium dapat dipastikan bahwa kandungan Na lebih tinggi pada kuda (0.049 gr/100 mL), K lebih tinggi pada Kambing (0.720 gr/100 mL) dan Ca lebih tinggi pada Sapi (0.127 gr/100 mL). Berikut ini adalah Gambar 4 Kandungan Air Limbah Biogas.
\
Melihat dari hasil analisis tersebut maka hal ini sesuai dengan tabel 20. Warna nyala api per periode. Seperti yang dijelaskan pada parameter warna nyala api bahwa setiap warna mewakili kandungan dari air limbah biogas seperti Natrium (kuning), Kalium (Ungu), dan Kalsium (merah). Kandungan Kalium tertinggi terdapat pada perlakuan T1 (feses kambing). Setiap kandungan air limbah biogas yang dipaparkan diatas adalah zat beracun yang dapat diterima oleh bakteri dalam biodegester.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
        Dari hasil dan pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.  Hasil Tekanan gas dalam penelitian ini adalah berbeda nyata dengan tekanan  tertinggi adalah Perlakuan T0 sebesar 0.081162 Psi dan terendah adalah T2 sebesar 0.030669 Psi.
2.  Hasil Lama nyala api dalam penelitian ini adalah berbeda nyata dengan menggunakan uji lanjut Duncan, dengan lama nyala api tertinggi T0 dan T3 adalah 14. 625 detik sedangkan terendah adalah T2 sebesar 6.125 detik.
3.  Hasil Massa produksi gas dalam penelitian ini adalah tidak berbeda nyata, namun produksi tertinggi adalah T0 (feses sapi) dan T3 (feses kuda), sedangkan terendah adalah T2 (feses kerbau).
4.  Pada pengamatan warna nyala api terbaik adalah pada T1(feses kambing) yang sering menghasilkan warna biru dan ungu.
5.  Dari hasil uji laboratorium melihat kadar Natrium, Kalium, dan Kalsium dapat dipastikan bahwa kandungan Na lebih tinggi pada kuda (0.049 gr/100 mL), K lebih tinggi pada Kambing (0.720 gr/100 mL) dan Ca lebih tinggi pada Sapi (0.127 gr/100 mL).




Saran
        Dari kesimpulan diatas maka dapat disarankan sebagai berikut :
1.      Untuk Peneliti dalam melakukan penelitian perlu untuk memperhatikan kontrol awal terhadap digester terutama pada hari awal pembentukan biogas untuk menghindari kebocoran pada digester.
2.      Kepada masyarakat yang hendak membuat biogas dirumahnya disarankan agar menggunakan feses sapi dan feses kuda, karena dilihat dari parameter feses sapi dan feses kuda memiliki tingkat produksi yang stabil.
3.      Kepada pemerintah atau instansi terkait dalam penggunaan biogas skala rumah tangga, untuk mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa penggunaan feses sapi dan feses kuda adalah sangat baik karena tingkat kestabilan produksi biogasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Hiskia., 1992. Kimia Unsur dan Radiokimia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Anonim, 2009. Alternatif Cara Membuat Digester Biogas. http://biokim.wordpress.com/2009/11/29/alternatif-cara-membuat-digester-biogas/, diakses pada tanggal 26 Desember 2012.

Anonim, 2010. Biodegester.http : / / www. disnakbrebes. blogspot. Com /2010 /01 /biodegester.html, diakses pada tanggal 27 Desember 2012.

Anonim, 2010. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka(Kerjasama BPD). Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. Sumbawa.

Anonim, 2005. http://www.wikipedia.org/wiki/Anaerobic_digester, diakses pada tanggal 27 Desember 2012.


Fessenden,  Ralp  J.  and  J.  S.  Fessenden,  Kimia  Organik  Jilid  1,  Edisi  Ke-3, Erlangga, Jakarta, 1989, pp. 102 – 103.

Hadi, N., 1980. Gas Bio Sebagai Bahan Bakar. Lemigas, Cepu.

Harasimowicz,  M.,  P.  Orluk  ,  G.  Zakrzewska-Trznadel  and  A.G. Chmielewski, Application  of  Polyimide  Membranes  for  Biogas  Purification  and Enrichment, Journal of Hazardous Materials, 2007, vol. 144, pp. 698 – 702.

Harahap, F.M., 1978. Teknologi Gas Bio, Pusat Teknologi Pembangunan ITB, Bandung.

Ichwan, 2003. Alternatif Ketika BBM Menipis, (Online http://www.waspada.co.id/), diakses 26 Desember 2011.

Indartono, Y. S., 2005. Reaktor Biogas Skala Kecil dan Menengah (Bagian Pertama). http://www.beritaiptek.com/static.php, diakses pada tanggal 26 Desember 2011.

Kamase, Care. 2007. Cara Mudah Membuat Biodigester, (Online http://www.kamase.org/), diakses 26 Desember 2011.

Karim, K., Hoffman, R., Klasson,. T., Al-Dahlan , MH., 2005. Anaerobic Digestion Of Animal Waste. Bioresource Tekhnology, London.

Karyadi, B., 2001. Kimia 2 cetakan 2. Balai Pustaka. Jakarta.

Khasristya Amaru, 2004, Rancang Bangun dan Uji Kinerja Biodigester Plastik Polyethilene Skala Kecil (Studi Kasus Ds. Cidatar Kec. Cisurupan, Kab. garut), Tugas Akhir, Fakultas Pertanian, UNPAD, Indonesia.

Lastella,  G.,  C.  Testa,  G.  Cornacchia,  M.  Notornicole,  F.  Voltasio  and  V.  K. Sharma,  Anaerobic  Digestion  of  Semi-Solid  Organic  Waste  :  biogas production and its purification Energy Conversion ang management, Vol 43, Issue I, 2002, pp. 63 – 75.

Lin, Wen-Hui, T. T. Chunga, Gas Permeability, Diffusivity, Solubility, and Aging Characteristics  of  6FDA-Durene  Polyimide  Membranes,  Journal  of Membrane Science, 2001, vol. 183, pp. 183 – 193.

Mulder, Marcel, Basic Principles of Membrane Technology, Kluwer Academic Publishers, London, 1996, pp. 51 – 59, pp. 307 – 319, pp. 465 – 479.

Pabby,  Anil  K,  S.  S.  H.  Rizvi  and  A.  M.  Sastre, Handbook  of Membrane Separations Chemical,  Pharmaceutical,  Food, and  Biotechnological Applications,  CRC Press Taylor & Francis Group, New York, 2009, pp. 66 – 100.

Perry, R. H., Perry’s Chemical Engineers’ Handbook,  7 th Edition, Mc Graw Hill Companies Inc., New York, 1997, pp. table 2-1 & 2-2.

Price,E.C and Cheremisinoff,P.N.1981.Biogas Production and Utilization.Ann Arbor Science Publishers, Inc .United States of America

Sunari, 2007. Beternak Kerbau. Cetakan pertama, JP Books. Surabaya.

Suriawiria dan Unus H. 2002. Menuai Biogas Dari Limbah. (Online http://www.pikiran-rakyat.com/squirellmail), diakses pada 26 Desember 2011.

Tohari. 2009. Kandungan Hara Pupuk Kandang.(Online http://tohariyusuf.wordpress. com/2009/04/25/ kandungan-hara-pupuk-kandang/) Diakses pada tanggal 29 Desember 2011.

Udiharto, M., 1981. Pemanfaatan Limbah. Proyek Laboratorium PST PPTMGB “LEMIGAS”, Cepu.

Vogel, Arthur, Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan  Semimikro, Edisi Ke-5, Kalman Media Pusaka, Jakarta, 1985, pp. 110 – 118. Bioenergy, Task 24, International Energy Association, France, 2000, pp.20.

Wahyudi, Ahmad. Ir. M. Kes dan Malik, Abdul. Ir, MP. 2007. Pengembangan Starter Fermentasi Produksi Gas Bio Dengan Reformulasi Isolat Bakteri Fibrolitik Asal Rumen dan Kolon Domba ( Upaya Efisiensi Produksi Gas Methane Sebagai Sumber Energi Alternatif ). Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Wahyuni, Sri. MP. 2011. Biogas Cetakan 3. Penebar Swadaya. Jakarta.


Widodo, W.T., dkk. 2009. Teori dan Konstruksi Instalasi Biogas. Balai Besar Pengembangan Mekanisme Pertanian Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Serpong.

Wulandari, D., 2006. Biomassa Energi Center For Research on Engineering Application in Tropical, LPPM – IPB. Bogor.Bookmark and Share

2 komentar:

Anonim mengatakan...

hmm.

Rizky Dwi Cahyadi mengatakan...

Bisakah saya meminta file ini dlm format word? Karena gambar tabel disini tidak muncul

Posting Komentar

chat 1


ShoutMix chat widget

Template by:

Free Blog Templates